Kamis, 17 Maret 2011

kemiskinan dan kesenjangan pendapatan

I. PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Masalah besar yang dihadapi negara sedang berkembang adalah disparitas (ketimpangan) distribusi pendapatan dan tingkat kemiskinan. Tidak meratanya distribusi pendapatan memicu terjadinya ketimpangan pendapatan yang merupakan awal dari munculnya masalah kemiskinan. Membiarkan kedua masalah tersebut berlarut-larut akan semakin memperparah keadaan, dan tidak jarang dapat menimbulkan konsekuensi negatif terhadap kondisi sosial dan politik.
Masalah kesenjangan pendapatan dan kemiskinan tidak hanya dihadapi oleh negara sedang berkembang, namun negara maju sekalipun tidak terlepas dari permasalahan ini. Perbedaannya terletak pada proporsi atau besar kecilnya tingkat kesenjangan dan angka kemiskinan yang terjadi, serta tingkat kesulitan mengatasinya yang dipengaruhi oleh luas wilayah dan jumlah penduduk suatu negara. Semakin besar angka kemiskinan, semakin tinggi pula tingkat kesulitan mengatasinya. Negara maju menunjukkan tingkat kesenjangan pendapatan dan angka kemiskinan yang relative kecil dibanding negara sedang berkembang, dan untuk mengatasinya tidak terlalu sulit mengingat GDP dan GNP mereka relative tinggi. Walaupun demikian, masalah ini bukan hanya menjadi masalah internal suatu negara, namun telah menjadi permasalahan bagi dunia internasional.
Berbagai upaya yang telah dan sedang dilakukan oleh dunia internasional, baik berupa bantuan maupun pinjaman pada dasarnya (walaupun masih tanda tanya) merupakan upaya sistematis untuk memperkecil kesenjangan pendapatan dan tingkat kemiskinan yang terjadi di negara-negara miskin dan sedang berkembang. Beberapa lembaga internasional seperti IMF dan Bank Dunia serta lembaga-lembaga keuangan internasional lainnya berperan dalam hal ini. Kesalahan pengambilan kebijakan dalam pemanfaatan bantuan dan/ atau pinjaman tersebut, justru dapat berdampak buruk bagi struktur sosial dan perekonomian negara bersangkutan.
Perbedaan pendapatan timbul karena adanya perbedaan dalam kepemilikan sumber daya dan faktor produksi terutama kepemilikan barang modal (capital stock). Pihak (kelompok masyarakat) yang memiliki faktor produksi yang lebih banyak akan memperoleh pendapatan yang lebih banyak pula. Menurut teori neoklasik, perbedaan pendapatan dapat dikurangi melalui proses penyesuaian otomatis, yaitu melalui proses “penetasan” hasil pembangunan ke bawah (trickle down)
dan kemudian menyebar sehingga menimbulkan keseimbangan baru. Apabila proses otomatis tersebut masih belum mampu menurunkan tingkat perbedaan pendapatan yang sangat timpang, maka dapat dilakukan melalui sistem perpajakan dan subsidi. Penetapan pajak pendapatan/penghasilan akan mengurangi pendapatan penduduk yang pendapatannya tinggi. Sebaliknya subsidi akan membantu penduduk yang pendapatannya rendah, asalkan tidak salah sasaran dalam pengalokasiannya. Pajak yang telah dipungut apalagi menggunakan sistem tarif progresif (semakin tinggi pendapatan, semakin tinggi prosentase tarifnya), oleh pemerintah digunakan untuk membiayai roda pemerintahan, subsidi dan proyek pembangunan. Dari sinilah terjadi proses redistribusi pendapatan yang akan mengurangi terjadinya ketimpangan.
Selama 350 tahun rakyat Indonesia hidup dalam lingkungan kolonialisme penjajah, tidak pernah merasakan keadilan dalam segala bidang. Pada masa penjajahan, ekonomi Indonesia berorientasi untuk menyediakan bahan mentah bagi Belanda. Sektor pertanian selain menyediakan beras sebagai makanan pokok, bangsa Indonesia juga memproduksi rempah-rempah yang dapat dijual mahal di pasaran Eropa. Sektor industri tidak berkembang, dikarenakan Belanda tidak mau hasil industri Indonesia bersaing dengan industri yang ada di Belanda.
Sebagai bagian dari dunia internasional, berbagai upaya telah dilakukan oleh Pemerintah Republik Indonesia dalam rangka meningkatkan derajat kehidupan bangsa agar setara dengan negara-negara lainnya di dunia. Kebijakan-kebijakan pembangunan yang diambil dan dilaksanakan “sejatinya” diarahkan pada upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Berbagai upaya untuk mencapai tujuan tersebut telah banyak dilakukan, termasuk “menjalin hubungan” dengan lembaga-lembaga internasional seperti IMF dan Bank Dunia.
Berdasarkan data resmi yang dikeluarkan pemerintah, dan dari penelitian-penelitian akademik menunjukkan bahwa angka kemiskinan di Indonesia masih sangat tinggi. Data BPS bulan Maret tahun 2007 menunjukkan angka 37.168.300 orang berada di bawah garis kemiskinan. Jumlah ini sebagian besar bertempat tinggal di perdesaan (20,37%), tetapi ada pula kemiskinan di perkotaan (12,52%). Para ekonom banyak menyoroti permasalahan ini, terutama terhadap kebijakan pembangunan bidang ekonomi yang diambil pemerintah. Ada yang pro, pun tidak sedikit yang mengkritik. Sistem distribusi pendapatan nasional yang tidak pro poor menjadi isu bagi mereka yang mengkritik kebijakan pemerintah dengan keyakinan bahwa sistem distribusi pendapatan sangat menentukan bagaimana pendapatan nasional yang tinggi mampu menciptakan perubahan-perubahan dan perbaikan-perbaikan dalam kehidupan bernegara, seperti mengurangi kemiskinan, pengangguran dan
kesulitan-kesulitan lain dalam masyarakat. Distribusi pendapatan nasional yang tidak merata, tidak akan menciptakan kemakmuran bagi masyarakat secara umum. Sistem distribusi yang tidak pro poor hanya akan menciptakan kemakmuran bagi golongan tertentu saja, sehingga ini menjadi isu sangat penting dalam menyikapi tingginya angka kemiskinan hingga saat ini.


KEMISKINAN DAN
KETIMPANGAN PENDAPATAN
1. Esensi Kemiskinan
Dalam kurun waktu 2.000.000 sampai dengan 10.000 tahun sebelum Masehi yang lalu
manusia di dunia ini hidup dari berburu. Mereka hidup berpindah-pindah dari suatu
tempat ke tempat yang lain. Pada fase itu belum terdengar kemiskinan, boleh semua
manusia disebut miskin, boleh semua disebut tidak miskin.
Pada fase selanjutnya manusia mulai hidup dari pertanian mencangkol atau disebut
hackbow, sampai kepada pertanian mengenal gandum (phase van de graan- hackbow)
dan kemudian hidup menetap dalam satu daerah tertentu. Pada fase inipun belum
diketahui berapa % penduduk miskin, namun ketimpangn pendapatan sudah mulai ada
karena manusia sudah melakukan stock, terutama stock makanan.
Seabad sebelum tahun Masehi sudah dikenal kemiskinan & ketimpangan, tetapi berapa %
miskin dan apa indikator ketimpangan belum diketahui. Pada masa itu dikenal kata-kata
yang menunjukkan miskin antara lain:
Anaw, artinya orang-orang yang miskin rohani dan tertindas
kehidupannya.
Ebyon, artinya orang-orang pengemis yang sangat miskin.
Dal, adalah orang-orang yang lemah materi dan jasmani.
Di abad I sesudah Masehi dikenal kelompok manusia:
Honestiores, artinya orang-orang yang masuk dalam kaum bangsawan.
Humiliores, adalah orang-orang kaum rendahan yang miskin, yang terdiri
dari kaum miskin berutang dan dan golongan budak.
Di abad modern catatan tentang kemiskinan sudah agak lengkap. Bencana kelaparan di
Irlandia tahun 1840, di Rusia tahun 1920, di Indonesia masa tanam paksa tahun 1830-
1879. Sistem tanam paksa berhasil menopang keuangan Belanda dan berhasil
memiskinkan penduduk di Jawa.
Kemiskinan sebagai gejala ekonomi sering dikaitkan dengan ethos kerja yang rendah,
malas dan sifat boros. Bagi orang Tionghoa memiliki ethos kerja tinggi, rajin dan sifat
hemat. Kemiskinan di perdesaan berpeluang bagi besar bagi penduduk yang sedikit
memiliki faktor produksi, misalnya lahan sempit, modal tidak ada.
Pada dasarnya konsep kemiskinan dikaitkan dengan perkiraan tingkat income atau
pendapatan dan kebutuhan. Kebutuhan dibatasi pada kebutuhan pokok atau kebutuhan
dasar minimum yang memungkinkan seseorang hidup secara layak. Jika tingkat income
tidak dapat mencapai kebutuhan minimum maka orang atau keluarga itu disebut miskin.
Tingkat income minimum itu merupakan pembatas antara keadaan miskin dan tidak
miskin, ini sering disebut garis kemiskinan (poverty line), dan dikenal sebagai garis
kemiskinan mutlak (absolute).
Ada pula yang disebut kemiskinan relatif, kemiskinan ini tidak ada garis kemiskinannya.
Seseorang yang tinggal di kawasan elit, yang sebenarnya memiliki income sudah cukup
mencapai kebutuhan minimum, tetapi incomenya masih jauh lebih rendah dari rata-rata
income masyarakat sekitarnya. Orang atau keluarga tersebut merasakan dia masih miskin,
karena kemiskinan relatif ini lebih banyak ditentukan oleh kondisi lingkungan.
Indikator Kemiskinan
Garis kemiskinan ditentukan oleh kebutuhan minimum, kebutuhan minimum ini
dipengaruhi oleh:
1. Adat/kebiasaan/selera
2. Tingkat pembangunan
3. Iklim/lingkungan/daerah
4. Umur/jenis kelamin/suku
5. Status sosial.
Berbagai komponen telah digunakan untuk mengukur kebutuhan dasar,
menurut Laporan PBB-I ada 12 macam komponen,
menurut ILO, UNESCO, FAO ada 9 macam komponen.
Karena banyaknya faktor yang mempengaruhi kebutuhan dasar, maka tidak ada satu garis
kemiskinan yang dapat berlaku umum. Namun demikian beberapa indikator atau garis
kemiskinan yang telah digunakan adalah:
1. Di India, dikatakan miskin jika income/kapita/bulan lebih kecil daripada Rs 20
pada tingkat harga 1960-1961.
2. Di Malaysia miskin bila income/kapita/bulan lebih kecil daripada $ 33 pada tahun
1970.
3. Di Filipina miskin di kota bila income/kapita/bulan lebih kecil daripada P 576
dan lebih kecil daripada P 330 di desa pada tahun 1973. (P = mata uang Peso).
4. Sayogyo di Indonesia 1973, miskin di kota bila income/kapit/tahun lebih kecil
daripada ekivalen 360 kg beras, di desa bila income/kap/thn lebih kecil daripada
ekivalen 240 kg beras.
5. Menurut Dandekar & Ralth tahun 1973 di India, miskin bila income/ kapita/hari
lebih kecil daripada nilai ekivalen 2.250 kalori.
6. Menurut Ptawardhan tahun 1973 di India, miskin bila income/kapita/hari lebih
kecil daripada nilai ekivalen 2.100 kalori.
7. Menurut Sukhame tahun 1973 di India, miskin bila income/kapita/hari lebih kecil
daripada nilai ekivalen 2.350 kalori.
8. Menurut FAO tahun 1973, miskin bila income/kapita/hari lebih kecil daripada
nilai 2.150 kalori.
Garis kemiskinan Internasional adalah untuk studi perbandingan antar negara dan
memperhatikan tingkat kemiskinan secara global. Metode ini pada mulanya
diperkenalkan oleh McNamara, kemudian dipertegas oleh Ahluwalia, dengan kriteria
miskin:
di kota bila income/kapita/hari lebih kecil daripada US$ 75,
di desa bila income/kapita/hari lebih kecil daripada US$ 50.
dengan harga konstan tahun 1973.
Penyebab dan Jenis-jenis Kemiskinan
Penyebab kemisikinan sangat banyak, antara penyebab dan akibat sering berbalik
misalnya miskin disebabkan pendidikan rendah, juga pendidikan rendah disebabkan
miskin. Penyebab dan jenis-jenis kemiskinan belum ada yang baku atau standar, sering
terjadi tumpang tindih. Secara garis besarnya dapat diungkapkan antara lain :
1. Kemiskinan alami (natural) adalah kemiskinan yang disebabkan keadaan alam
suatu daerah yang miskin. Contohnya dulu di daerah Gunung Kidul yang
tanahnya/alamnya sangat miskin sehingga penduduknya banyak yang miskin.
Kemiskinan ini hanya dapat di atasi dengan bantuan dari luar daerah.
2. Kemiskinan budaya (kultural) adalah kemiskinan yang disebabkan kondisi sosial
budaya penduduk di daerah itu mendukung kemiskinan. Contoh di Nias karena
banyaknya pesta adat sehingga terjadi utang adat dan akhirnya mereka menjadi
miskin. Kemiskinan ini sangat sulit dan membutuhkan waktu yang lama untuk
diatasi.
3. Kemiskinan struktur (structural) adalah kemiskinan yang disebabkan keadaan
struktur pemerintahan, struktur pendistribusian fasilitas yang membuat suatu
daerah penduduknya menjadi miskin. Contoh, penduduk di luar Jawa banyak
miskin karena hasil minyak lebih banyak digunakan di Jawa.
Herman Suwardi mengungkapkan bahwa pada zaman kolonial Belanda di Jawa telah
terjadi industrialisasi pertanian (perkebunan tebu milik Belanda) yang dihimpitkan di atas
pola ekologi sawah (padi sawah rakyat). Himpitan ini disambut oleh petani sawah dengan
cara adaptasi mekanisme kalahkan diri sendiri, yang akhirnya menumbuhkan kemiskinan
bagi petani.
Penelitian Kelin Tarigan (Disertasi) menunjukkan tidak terjadi pola demikian di kalangan
masyarakat nelayan di Sumatera Utara (1990).
Data Kemiskinan di Indonesia
Data jumlah penduduk miskin atau persentase penduduk miskin sering berubah-ubah
karena :
Ukuran Miskin atau garis kemiskinan yang dipakai berubah
Data empiris dari lapangan yang bias, sering dibuat estimasi.
Disini disarikan data dan perihal kemiskinan di Indonesia yang datanya bersumber dari
BPS, Stattistik Indonesia Tahun 2004.
Terjadinya krisis ekonomi di Indonesia tahun 1977 menyebabkan bertambahnya
penduduk miskin. Padahal sebelum terjadi krisis jumlah penduduk miskin terus
berkurang.
Menurut standar 1966, pada tahun 1966 jumlah penduduk miskin adalah 22,5 juta jiwa
atau 11,3% dari jumlah penduduk. Penduduk miskin 7,2 juta di perkotaan (9,7%) dan
15,3 juta di perdesaan (12,4%).
Dalam kurun waktu tahun 1993-1996 penduduk miskin di perkotaan berkurang 1,5 juta
jiwa dan di perdesaan berkurang 1,9 juta jiwa. Pada akhir tahun 1998 jumlah penduduk
miskin menjadi 49,5 juta jiwa. Kenaikan jumlah penduduk miskin ini disebabkan krisis
ekonomi dan standar kemiskinan yang digunakan BPS berubah.
Jumlah penduduk miskin tahun 1996 jika diukur dengan standar 1988 adalah 34,5 juta,
jadi akibat krisis adalah 15 juta (49,5-34,5) juta. Standar kemiskinan tahun 1988 adalah
Rp.96.959 untuk kota dan Rp,72,780 untuk desa, (Rp./kapita/bulan).
Pada Februari 1999 jumlah penduduk miskin adalah 48,4 juta, di desa sebanyak 67,6%.
Garis kemiskinan yang dipakai Rp,92.409 di kota dan Rp.74.272 di desa,
(Rp./kapita/bulan).
Pada Februari 2002 jumlah penduduk miskin adalah 38,4 juta, di desa sebanyak 65,4%.
Garis kemiskinan yang dipakai Rp,130.499 di kota dan Rp.96.512 di desa
(Rp./kapita/bulan).
Pada Februari 2003 jumlah penduduk miskin adalah 37,3 juta.
Pada Februari 2004 jumlah penduduk miskin adalah 36,1 juta.
Garis kemiskinan yang dipakai Rp,143.455 di kota dan Rp.108.725 di desa
(Rp./kapita/bulan).
Tabel 30. Batas Miskin dan Jumlah Penduduk Miskin
Di Indonesia, Tahun 1976-1996
Tahun Batas Miskin
Rp./Kap/bln
% penduduk miskin Jumlah penduduk miskin
Juta Jiwa
Kota Desa Kota Desa Kota dan
Desa
Kota Desa Kota dan
Desa
1976 4522 2849 38,8 40,4 40,1 10 44,2 54,2
1978 4969 2981 30,8 33,4 33,3 8,3 38,9 47,2
1980 6831 4449 29 28,4 28,6 9,5 32,8 42,3
1981 9777 5877 28,1 26,5 26,9 9,3 31,1 40,4
1984 13731 7746 23,1 21,2 21,6 9,3 25,7 35
1987 17381 10294 20,1 16,1 17,4 9,7 20,3 30
1990 20614 13295 16,8 14,3 15,1 9,4 17,8 27,2
1993 27905 18244 13,4 13,8 13,7 8,7 17,2 25,9
1996 38246 27413 9,7 12,3 11,3 7,2 15,3 22,5
Batas garis kemiskinan baik di kota maupun di desa makin lama makin naik, pada tahun
1976 batas miskin di kota adalah Rp.4.522 per kapita per bulan, di desa adalah Rp.2.849
per kapita per bulan. Setelah 20 tahun kemudian atau pada tahun 1996 batas miskin
menjadi Rp.38.246 per kapita per bulan di kota, dan di desa adalah Rp.27.413 per kapita
per bulan.
Dengan batas miskin yang dibuat setiap tahunnya atau setiap periode, maka persentase
penduduk miskin di kota dan desa adalah menurun jumlah jiwanya dan sangat menurun
% penduduk miskin. Pada tahun 1976 penduduk miskin di desa adalah 40,4% dan setelah
20 tahun kemudian menurun menjadi 12,3% atau dari 44,2 juta jiwa miskin tahun 1976
turun menjadi 15,3 juta jiwa.
Tabel 31. Batas Miskin dan Jumlah Penduduk Miskin
Di Indonesia, Tahun 1996-2004
Tahun Batas Miskin
Rp./Kap/bln
% penduduk miskin Jumlah penduduk miskin
Juta Jiwa
Kota Desa Kota Desa Kota dan
Desa
Kota Desa Kota dan
Desa
1996 42032 31366 13,6 19,9 17,7 9,6 24,9 34,5
1998 96409 72780 21,9 25,7 24,2 17,6 31,9 49,5
1999 92409 74272 19,5 26,1 23,5 15,7 32,7 48,4
2000 91632 73648 14,6 22,4 19,1 12,3 26,4 38,7
2001 100011 80382 9,8 24,8 18,4 8,6 29,3 37,9
2002 130499 96512 14,5 21,1 18,2 13,3 25,1 38,4
2003 138803 105888 13,6 20,2 17,4 12,2 25,1 37,3
2004 143455 108725 12,1 20,1 16,7 11,3 24,8 36,1
Pada periode tahun 1996-2004 batas garis kemiskinan baik di kota maupun di desa juga
makin lama makin naik, pada tahun 1996 dibuat batas miskin di kota adalah Rp.42.032
per kapita per bulan, di desa adalah Rp.31.356 per kapita per bulan. Setelah 8 tahun
kemudian atau pada tahun 2004 batas miskin menjadi Rp.143.455 per kapita per bulan di
kota, dan di desa adalah Rp.108.725 per kapita per bulan.
Catatan: Tahun 1976 batas miskin di kota = Rp.4.522, tahun 2004 menjadi Rp.143.455,
meningkat 3.172%
Dengan batas miskin yang dibuat setiap tahunnya atau setiap periode, maka persentase
penduduk miskin di kota dan desa naik dan turun jumlah jiwanya dan % penduduk
miskin. Pada tahun 1996 penduduk miskin di desa adalah 19,9% dan tahun 1998 menjadi
25,7 kemudian menurun menjadi 20,1% di tahun 2004.
Pada periode 1976-1996 batas miskin menggunakan standar lama (sebelum tahun 1998),
pada periode 1996-2004 batas miskin menggunakan standar 1988 yang disesuaikan
dengan pola konsumsi tahun yang bersangkutan. Oleh karena itu data pada baris tahun
1996 pada periode tahun 1976-1996 berbeda dengan data baris tahun 1996 pada periode
1996-2004. Jadi disini nampak tahunnya sama tetapi angka kemiskinannya berbeda,
karena standar yang digunakan berbeda.
Persentase penduduk miskin antar propinsi adalah bervariasi. Pada tahun 2003 dan 2004
persentase penduduk miskin (kota+desa) tertinggi terdapat di Papua yakni 39% dan
38,7%, menyusul di Maluku yakni 32,9% dan 32,1%. Hanya di dua propinsi ini yang
mempunyai penduduk miskin di atas 30%. Kemudian di Aceh yakni 29,8% dan 28,5%,
di Gorontalo yakni 29,3% dan 29,01%, di Nusa Tenggara Timur yakni 28,6% dan 27,9%,
di Nusa Tenggara Barat yani 26,3% dan 25,4%. Daerah propinsi lainnya mempunyai
persentase penduduk miskin di bawah 25%.
Daerah-daerah yang mempunyai persentase penduduk miskin paling rendah di tahun
2003 dan 2004 (kota+desa) terdapat di Jakarta yakni 3,4% dan 3,2%, menyusul di Bali
yakni 7,3% dan 6,9%, di Kalimantan Selatan yakni 8,2% dan 7,2%, di Sulawesi Utara
yakni 9,0% dan 8,9%, di Banten yakni 9,6% dan 8,6%, di Bangka Belitung yakni 10,1%
dan 9,1%, sedangakan daerah lainnya mempunyai penduduk miskin di atas 10%.
Batas kemiskinan tidak sama antar propinsi. Pada tahun 2003 dan 2004 batas kemiskinan
di kota di DKI adalah Rp.186.525 dan Rp.197.306 per kapita per bulan, inilah batas
kemiskinan tertinggi di daerah perkotaan. Menyusul di Riau yakni Rp.178.016 dan
Rp.198.075, dan paling rendah di Gorontalo yakni Rp.114.907 dan Rp.126.612 per kapita
per bulan.
$
Komentar Data Kemiskinan di Indonesia
Presiden RI menyampaikan Pidato Kenegaraan pada tanggal 16 Agustus 2006 di Jakarta
selama 73 menit, di dalamnya ada disampaikan tentang pengentasan kemiskinan. Ada
sembilan prioritas untuk tahun 2007, salah satu adalah penang-gulangan kemiskinan.
Tim Indonesia Bangkit menyatakan bahwa soal kemiskinan diragukan dalam
penurunannya. Presiden menyampaikan angka kemiskinan turun 23,4% menjadi 16%
pada tahun 2005. Badan Pusat Statistik (BPS) telah memutakhirkan data kemiskinan
melalui Susenas Juli 2005 dan Maret 2006, akan tetapi data Susenas yang lebih up to date
justru belum dilaporkan, hal ini diduga karena ada lonjakan angka kemiskinan. Angka
kemiskinan juga dinilai tidak konsisten dengan jumlah penerima bantuan langsung tunai
(BLT). Data kemiskinan dan pengangguran tidak mencerminkan kondisi riil
perekonomian, independensi dalam mengum-pulkan dan mengolah data dinilai sudah
diintervensi pemerintah (Tim Indonesia Bangkit, Harian Kompas, Sabtu 19-8-2006, hal.1).
Data mentah dari BPS, bahwa tingkat kemiskinan per Juli 2005 adalah 18,7%. Estimasi
sementara untu Maret 2006 adalah sekitar 22,6%. Bandingkan dengan tingkat kemiskinan
per Februari 2005 yang hanya mencapai 16%. Lonjakan kemiskinan yang begitu tinggi
tentu sangat mengkagetkan banyak pihak, apalagi lonjakan tersebut bertepatan dengan
pertumbuhan ekonomi yang cukup lumayan yakni 5,6%, sehingga dipandang kurang
masuk akal (Iman Sugema, Harian Kompas, Selasa 22-8-2006, hal.6).
Tim Indonesia Bangkit mensinyalir bahwa data yang digunakan pemerintah dalam pidato
Presiden adalah kedaluwarsa. Angka kemiskinan dan pengangguran yang seharusnya
meningkat diindikasikan menurun dalam pidato tersebut. Mengapa pemerintah menutupnutupi
kondisi rill bangsa kita? (Syamsuddin Haris, Harian Kompas, Selasa 22-8-2006, hal.6).
Sebelum krisis moneter (tahun 1996) metode lama menghasilkan 22,5 jiwa pen-duduk
miskin atau 11,34%. Dibandingkan dengan masa kritis sejumlah 49,5 juta jiwa penduduk
miskin atau 24,2% (tahun 1998, dengan metode baru), selisih antarmasa menunjukkan
peningkatan penduduk miskin secara mengagumkan 27 juta jiwa atau 12,8% (Ivanovich
Agusta, Harian Kompas, Selasa 22-8-2006, hal.6).
Data mengenai kemiskinan terbaru masih bisa membengkak dari sekedar angka yang
disebutkan pemerintah karena berbagai faktor belum diperhitungkan.
(DAY/FAJ, Harian Kompas, Selasa 22-8-2006, hal.1).
$
2. Ketimpangan Pendapatan
Ketimpangan pendapatan adalah menggambarkan distribusi pendapatan masyarakat di
suatu daerah/wilayah pada waktu/kurun waktu tertentu. Kaitan antara kemiskinan dan
ketimpangan pendapatan ada beberapa pola yaitu:
1. Semua anggota masyarakat mempunyai income tinggi (tak ada miskin) tetapi
ketimpangan pendapatannya tinggi.
2. Semua anggota masyarakat mempunyai income tinggi (tak ada miskin) tetapi
ketimpangan pendapatannya rendah. (ini yang paling baik).
3. Semua anggota masyarakat mempunyai income rendah (semuanya miskin) tetapi
ketimpangan pendapatannya tinggi.
4. Semua anggota masyarakat mempunyai income rendah (semuanya miskin) tetapi
ketimpangan pendapatannya rendah.
5. Tingkat income masyarakat bervariasi (sebagian miskin, sebagian tidak miskin)
tetapi ketimpangan pendapatannya tinggi.
6. Tingkat income masyarakat bervariasi (sebagian miskin, sebagian tidak miskin)
tetapi ketimpangan pendapatannya rendah.
7. Tingkat income masyarakat bervariasi (sebagian miskin, sebagian tidak miskin)
tetapi ketimpangan pendapatannya tinggi.
Untuk menentukan tingkat ketimpangan pendapatan terdapat beberapa ukuran yang
digunakan, antara lain:
1. Cara Bank Dunia,
Income suatu masyarakat diurutkan dari paling rendah ke paling tinggi, lalu income
dibagi dalam 3 katagori yaitu:
1. jumlah proporsi yang diterima oleh 40% penduduk lapisan bawah,
2. jumlah proporsi yang yang diterima 40% penduduk lapisan sedang,
3. jumlah proporsi yang diterima 20% penduduk lapisan tinggi,
Berdasarkan katagori di atas dinyatakan tingkat ketimpangan pendapatan sebagai Bank
Dunia membuat 3 macam ketimpangan perndapatan yaitu:
1. Ketimpangan pendapatan tinggi (highly inequality).
2. Ketimpangan pendapatan sedang (moderate inequality).
3. Ketimpangan pendapatan rendah (low inequality).
Dari kriteria Bank Dunia dapat dilihat bahwa pendapatan yang diterima oleh lapisan
menengah dan lapisan atas tidak diperhatikan. Jadi kalau ada perubahan bagi penerima
pendapatan di penduduk lapisan sedang dan lapisan tinggi, maka tidak ada perubahan
dalam ketimpangan pendapatan. Tetapi cara Bank Dunia ini cukup mudah dan praktis.
2. Dengan Gini Ratio,
Ukuran ketimpangan pendapatan yang sering dipakai adalah dengan cara
menghitung Gini Ratio (GR). Cara ini memperhatikan seluruh lapisan penerima
pendapatan, tetapi cara ini agak lebih sulit.
Rumus Gini Ratio:
GR = 1 - Σ fi [Yi + Yi-1]
fi = jumlah persen (%) penerima pendapatan kelas ke i.
Yi = jumlah kumulatif (%) pendapatan pada kelas ke i.
Nilai GR terletak antara nol sampai dengan satu.
Bila GR = 0, ketimpangan pendapatan merata sempurna, artinya setiap
orang menerima pendapatan yang sama dengan yang lainnya.
Bila GR = 1 artinya ketimpangan pendapatan timpang sempurna atau
pendapatan itu hanya diterima oleh satu orang atau satu kelompok saja.
Nilai GR = 0 atau GR = 1 tidak pernah diperoleh di lapangan. Gini Ratio
biasanya disertai dengan kurva yang disebut kurva Lorenz.
Kriteria ketimpangan berdasarkan Gini Ratio:
Bila proporsi
pendapatan yang
diterima oleh 40%
lapisan bawah dari
total semua
pendapatan
< 12%disebut ketimpangan
tinggi
(high inequality)
12-17% disebut ketimpangan
sedang
(moderate inequality)
> 17% disebut ketimpangan
rendah
(low inequality)
Tabel 32. Perhitungan Gini Ratio I, Ketimpangan Tinggi
Penerima
Income
Income
Rp1000
Y
% tase
Penerima
income
Kumula
tif % penerima
Income
Y/Total Y
x 100%
Kumulatif
% Y
Kum %
Yi+Yi-1
Kum
(%Yi+
Yi-1)x
%X
A B C D E F G H
1 5 10% 10,00% 0,25% 0,25% 0,25% 0,03%
2 7 10% 20,00% 0,35% 0,60% 0,85% 0,09%
3 10 10% 30,00% 0,50% 1,10% 1,70% 0,17%
4 20 10% 40,00% 1,00% 2,10% 3,20% 0,32%
5 40 10% 50,00% 2,00% 4,10% 6,20% 0,62%
6 90 10% 60,00% 4,50% 8,60% 12,70% 1,27%
7 128 10% 70,00% 6,40% 15,00% 23,60% 2,36%
8 300 10% 80,00% 15,00% 30,00% 45,00% 4,50%
9 500 10% 90,00% 25,00% 55,00% 85,00% 8,50%
10 900 10% 100,00% 45,00% 100,00% 155,00% 15,50%
Jumlah 2000 100% 100,00% Jumlah: 33,35%
GR = 1-33,35% = 0,6665
Gambar 15. Kurva Lorenz I, Ketimpangan Tinggi
Bila nilai Gini
Ratio (GR)
80% ketimpangan
sangat tinggi
60%-79% ketimpangan
tinggi
40%-59% ketimpangan
sedang
20%-39% ketimpangan
rendah
< 20% ketimpangan
sangat rendah
Penjelasan mencari GR pada Tabel Gini Ratio I, Ketimpangan Tinggi
1. Kolom A atau X adalah penerima pendapatan, ada 10 orang, setiap
kelompok diwakili oleh 1 orang, diwakili oleh nomor 1 sampai dengan
nomor 10.
2. Kolom B atau Y adalah pendapatan yang diterima setiap orang. Nomor 4
menerima pendapatan Rp.20.000 sebulan. Total pendapatan dari nomor 1
sampai dengan nomor 10 atau Σ nomor 1 sampai 10 penerima pendapatan
(X) adalah = Rp.2.000.000.
3. Kolom C adalah persen dari setiap orang, 1/10x100% = 10%.
4. Kolom D adalah jumlah kumulatif dari % penerima pendapatan, pada
nomor 4 jumlah kumulatif (10%+10%+10%+10%) = 40%.
5. Kolom E adalah persentase yang diterima oleh setiap penerima
pendapatan. Nomor 7 menerima Rp.1280.000 sebulan,
(128.000/2.000.000) x 100% = 6,40%.
6. Kolom F, jumlah kumulatif % pendapatan. di nomor 4, jumlah kumulatif
itu =
7. (0,25%+0,35%+0,5%+1%) = 2,1%.
8. Kolom G adalah jumlah di baris ke i + baris di atasnya dari kolom F. Di
baris ke 5 atau nomor 5 adalah (2,1%+4,1%) = 6,20%, di baris terakhir
atau di nomor 10 adalah: (55%+100%) = 155%.
9. Kolom H adalah kolom G x kolom C. Pada baris 1 diperoleh 10% x 25%
= 0,03%.
10. Kolom H dijumlahkan, atau Σ baris 1 sampai 10, atau 0,03%+0,9%+
.....+15,5% = 33,35%.
11. Gini Ratio (GR) = 100% - 33,35% = 66,65% atau 0,67.
Pada perhtungan GR itu diperoleh ketimpangan pendapatan tinggi, karena
nilai GR = 0,67, ini berada di antara 0,60-0,80.
Dengan cara Bank Dunia juga dapat dilihat ketimpangan pada perhitungan di
Tabel itu. Bahwa jumlah pendapatan yang diterima oleh 40% kelompok terendah
(pada baris ke 4) adalah hanya 2,1% atau angka ini adalah < 12%, sehingga nilai itu
termasuk dalam ketimpangan pendapatan tinggi (high in equality). Kriteria Bank
Dunia hanya ada tiga kelas, yaitu tinggi, sedang dan rendah. Sedangkan menurut Gini
Lorenz ada lima kelas, yaitu mulai dari ketimpangan sangat tinggi sampai ke
ketimpangan sangat rendah.
Tabel 33. Perhitungan Gini Ratio I, Ketimpangan Rendah
Penerima
Income
Income
Rp1000
Y
% tase
Penerima
income
Kumula
tif % penerima
Income
Y/Total Y
x 100%
Kumulatif
% Y
Kum %
Yi+Yi-1
Kum
(%Yi+
Yi-1)x
%X
A B C D E F G H
1 1 10% 10,00% 2,94% 2,94% 2,94% 0,29%
2 1,5 10% 20,00% 4,41% 7,35% 10,29% 1,03%
3 2 10% 30,00% 5,88% 13,24% 20,59% 2,06%
4 2,5 10% 40,00% 7,35% 20,59% 33,82% 3,38%
5 3 10% 50,00% 8,82% 29,41% 50,00% 5,00%
6 3,5 10% 60,00% 10,29% 39,71% 69,12% 6,91%
7 4 10% 70,00% 11,76% 51,47% 91,18% 9,12%
8 4,5 10% 80,00% 13,24% 64,71% 116,18% 11,62%
9 5 10% 90,00% 14,71% 79,41% 144,12% 14,41%
10 7 10% 100,00% 20,59% 100,00% 179,41% 17,94%
Jumlah 34 100% 100,00% Jumlah: 71,76%
GR = 1 – 71,76% = 28,24%

III. KESIMPULAN

Dari beberapa penelitian dan studi literatur di atas, dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1. Pendapatan Nasional (terlebih pada era Orde Baru) tidak terdistribusi secara merata, sehingga menyebabkan disparitas pendapatan masyarakat. Terjadinya disparitas pendapatan merupakan akibat dari kebijakan distribusi pendapatan yang sentralistik dan tidak “pro poor”.

2. Diperlukan dengan segera kebijakan ekonomi yang mengarah kepada perkuatan fundamental perekonomian nasional sebagai antisipasi terhadap keadaan perekonomian global yang fluktuatif.

3. Kebijakan makro ekonomi dan moneter yang mengupayakan tingginya laju pertumbuhan ekonomi serta meningkatnya indikator GDP/GNP, tidak mencerminkan rendahnya tingkat kemiskinan. Justru kebijakan moneter yang prudent (mengusahakan tercapainya inflasi yang rendah secara stabil) merupakan kebijakan yang “pro poor” dan menghasilkan distribusi pendapatan yang lebih baik.

4. Sistem desentralisasi diupayakan berjalan pada jalur yang benar sebagai salah satu upaya memperkecil konflik antara pusat dan daerah dan/atau antar daerah, yang dibarengi dengan penyempurnaan regulasi-regulasi kebijakan desentralisasi yang berkeadilan.

5. Upaya pengentasan kemiskinan di daerah akan dapat terwujud bila terbangunnya serta melembaganya jaringan komunikasi, koordinasi dan kerjasama dari tiga pilar yang ada di daerah, yaitu Pemerintah Daerah, Masyarakat, dan kelompok peduli (LSM, swasta, perguruan tinggi, ulama/tokoh masyarakat, dan pers).

6. Memantapkan kembali program-program pembangunan nasional berbasis masyarakat miskin, diikuti dengan kepedulian daerah dalam mengawal dan mengawasi implementasinya di lapangan agar benar-benar tepat sasaran.

7. Pemberdayaan ekonomi rakyat berbasis spasial, merupakan solusi yang dianggap tepat dalam mengurangi disparitas pendapatan dan tingkat kemiskinan di Indonesia.


. REFERENSI
                                                                                                                  
Arsyad, L., (2004). Ekonomi Pembangunan. Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi YKPN, Yogyakarta.
Booth, A., (2000). Poverty and Equality in The Soeharto Era: An Assessment. Bulletin of Indonesian Economic Studies. Vol. 36 No. 1, April 2000. pp. 73 – 104.
Gie, KK., (2009). Platform Presiden RI 2009. Usulan Kepada Presiden Mendatang. KoranInternet. www.koraninternet.com.
Hariadi, P., Arintoko., Bawono, RI., (2007). Ketimpangan Distribusi Pendapatan di Kabupaten Banyumas Jawa Tengah. Jurnal Ekonomi Pembangunan, hal 61 – 70.
Krisnamurthi, B., (2002). Krisis Moneter Indonesia dan Ekonomi Rakyat. Jurnal Ekonomi Rakyat, Artikel Th. I No. 3, Mei 2002. www. ekonomirakyat.org;
__________, (2002). Pemberdayaan Ekonomi Rakyat: Mencari Format Kebijakan Optimal. Jurnal Ekonomi Rakyat, Artikel Th. I No. 2, April 2002. www.ekonomirakyat.org;
Kuncoro, AS., (2008). Kemiskinan: Kesenjangan Antar Provinsi. Project Officer untuk TARGETMDGs (BAPENAS/UNDP). MDGs News, Edisi 01/Juli-September 2008.
Matitaputty, IT., (2004). Gross National Product (GNP) & Economic Growth: Kasus Indonesia. Makalah Pribadi. Sekolah Pasca Sarjana/S3, Institut Pertanian Bogor.
Mubiarto, (2002). Ekonomi Rakyat Indonesia Pasca Krismon. Jurnal Ekonomi Rakyat, Artikel Th. I No. 9, Nopember 2002. www. ekonomirakyat.org;
_________, (2002). Kemiskinan dan Ekonomi Rakyat Yogyakarta. Jurnal Ekonomi Rakyat, Artikel Th. I No. 1, Maret 2002. www.ekonomi rakyat.org;
Munandar, H., Kurniawan, F., Santoso, P., (2007). Mencari Hubungan Antara Kebijakan Moneter Dengan Kemiskinan dan Ketimpangan Pendapatan: Kajian Menggunakan Data Regional Indonesia. Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter, Bank Indoneisa.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar