Rabu, 30 Maret 2011

industrialisasi

PENDAHULUAN
SEKTOR INDUSTRI INDONESIA
Meskipun terjadi krisis keuangan dunia, perekonomian Indonesia tumbuh melampaui target pemerintah sebesar 4,5 % pada tahun 2009. Namun demikian, beberapa sektor usaha mengalami penurunan pertumbuhan ditengah GDP yang tumbuh dengan kecepatan yang lebih baik dari perkiraan.
Industri manufaktur hanya tumbuh 2,5 % dibandingkan dengan tahun 2008 sebesar 3,7%, sedangkan pertumbuhan di sektor perhotelan, perdagangan dan bisnis restoran turun menjadi 1,1% dari 7,2% pada tahun 2008. Tingkat pertumbuhan dalam bidang pertanian, peternakan, kehutanan dan sektor perikanan juga turun menjadi 4,1 % dari 4,8 % (BPS).
Pada masa yang akan datang, diharapkan bahwa industri manufaktur mendapatkan keuntungan dari pemulihan ekonomi global yang akan meningkatkan investasi langsung di Indonesia. Pembaruan baru-baru ini menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi y-o-y Indonesia pada kuartal pertama tahun 2010 dapat mencapai 5,7 %, atau naik dari 5,4 % pada kuartal keempat tahun 2009. Sedangkan Badan Pusat Statistik (BPS) memperkirakan angka yang lebih tinggi hingga 6 %.
Pertumbuhan yang lebih tinggi akan tercapai jika didukung oleh investasi asing dan kinerja ekspor. Namun pertumbuhan ekonomi y-o-y lebih tinggi pada kuartal pertama tahun 2010 juga didukung oleh pertumbuhan ekonomi lebih lambat pada kuartal pertama tahun 2009 sebagai tahun dasar.
Sebuah indikasi peningkatan kinerja industri manufaktur digambarkan oleh indeks produksi industri (IPI) yang lebih kuat sejak semester kedua tahun 2009. Saat ini, indikator IPI ada pada 131, dimana angka ini jauh lebih tinggi dari angka bulan Februari 2009 sebesar 124.
Indikasi lain juga digambarkan oleh kenaikan impor barang modal dan bahan baku utama untuk industri. Pada Februari 2010, pertumbuhan impor barang modal y-o-y melonjak menjadi 39 % atau pertumbuhan month-on-month sebesar 5,8 % dibanding Januari. Angka yang sama juga terlihat dengan pertumbuhan impor bahan baku utama y-o-y sebesar 52 % pada bulan Januari - lebih tinggi dari 16% pertumbuhan pada Desember 2009.
Pada tahun 2009, industri manufaktur masih menjadi penyumbang terbesar bagi perekonomian nasional, (26,4%), sementara perdagangan, hotel dan sektor restoran menyumbang 13,4% dan sektor pertanian memegang 15,3%. Industri pengolahan non-migas telah memberikan kontribusi sekitar 23 % dari PDB nasional. Dari semua sektor industri, makanan, minuman dan sektor tembakau dan transportasi, mesin dan sektor peralatan memainkan peran besar terhadap pertumbuhan industri non minyak dan gas, dimana masing-masing menyumbang 33,19% dan 27,32%. Pada tahun 2009, ekspor industri menunjukkan penurunan 17 %, menjadi US$ 73.435 miliar dari US$ 88.393 miliar pada tahun 2008, yang diduga disebabkan oleh melemahnya ekspor dunia konsumsi setelah krisis global.
Saat ini, realisasi investasi dalam negeri menunjukkan peningkatan, walaupun masih berada di bawah periode krisis. Sektor industri merupakan sektor utama yang menarik banyak perusahaan investasi domestik.
Pada tahun 2008, realisasi investasi domestik di sektor industri mencapai Rp. 3.605 milyar dengan 27 proyek terealisasi dari 29 proyek yang direncanakan melalui investasi dalam negeri. Sementara realisasi investasi domestik pada tahun 2009 mencapai Rp.537 miliar dari Rp.19.434 miliar yang berasal dari 158 proyek di industri manufaktur. Industri makanan mendominasi sebanyak 34 proyek dan industri tekstil sebanyak 23 proyek.


Kebijakan industri

Di dalam pembangunan industri ada tiga aspek penting menurut Bezuidenhout yaitu struktur, strategi, dan kebijak industri. Struktur industri di suatu negara akan sangat berhubungan dengan sektor dominan dalam sistem ekonomi negara itu; hubungan antara negara dan pasar, dan dengan cara mengatur fungsi produksi dan reproduksi.

Strategi industri adalah bagaimana negara mengubah struktur industri untuk memfasilitasi pembangunan industrinya. Tujuan strategi industri adalah mengarahkan atau menstruktur industri untuk mencapai tujuan sosial-ekonomi, seperti menciptakan lapangan pekerjaan dan pengentasan kemiskinan.

Kalau strategi industri lebih berupa pandangan luas restrukturisasi industri sedangkan kebijakan industri mengacu pada kebijakan pemerintah dalam mempromosikan pembangunan industri tanpa intervensi. Kebijakan-kebijakan makroekonomi, pendidikan, dan infrastruktur bisa dikategorikan sebagai kebijakan industri jika mengikuti definisi yang luas. Definisi kebijakan industri yang sempit hanya menyangkut industri tertentu saja.

Kebijakan industri akan sangat tergantung dari strategi industri yang diambil oleh suatu negara. Kebijakan industri ini akan mempengaruhi struktur industri. Struktur industri akan mengacu pada bagaimana interaksi negara dan pasar.

Bezuidenhout membandingkan struktur industri, strategi industri, peran negara, dan langkah-langkah kebijakan industri di Afrika Selatan dari empat perspektif pembangunan yaitu perspektif yang digunakan Bank Dunia, perspektif post-Fordism, perspektif Porterism, dan perspektif pendekatan ekonomi politiknya Fine dan Rustomjee (political economy approach).

Perspektif Bank Dunia akan melihat kekurangan struktur industri akibat upah buruh dan biaya modal terlalu tinggi sehingga sektor manufaktur tidak mampu bersaing akibat diproteksi. Untuk membangun industri yang kompetitif, strategi industri harus diambil adalah pemerintah harus memfokuskan pada peningkatan kepercayaan investor untuk merangsang pertumbuhan.

Intervensi negara harus dikurangi dan untuk mendorong kepercayaan investor negara harus mengeluarkan kebijakan yang pro-ekonomi. Peran negara terbatas hanya membagikan tanah terbatas dan meningkatkan keterampilan dasar pekerja industri. Negara mengeluarkan kebijakan meliberalisasi perdagangan dan keuangan, dan mendukung tertib fiskal untuk meningkatkan kepercayaan investor.

Post-Fordism akan melihat kelemahan industri akibat kebijakan substitusi impor, persoalan rasial di Afrika Selatan yang pada era post-Fordism masih sangat kuat, dan menurunnya produktivitas sektor manufaktur. Untuk mengatasi kelemahan industri, negara harus memfokuskan strategi pada peningkatkan produktivitas dan ekspor industri manufaktur. Negara hanya boleh mengintervensi jika ada kegagalan serius. Tetapi negara harus berupaya membangun kapasitas institusi industri yang baik.

Kebijakan industri yang harus diambil adalah menguatkan pasar melalui kebijakan liberalisasi perdagangan, kebijakan yang mendorong kompetisi, dan meningkatkan peran perusahan menengah dan kecil. Kebijakan lainnya adalah memperbaiki kapasitas kelembagaan demi meningkatkan pengembangan sumber daya manusia, misalnya melalui pelatihan-pelatihan. Negara juga dianjurkan mengeluarkan kebijakan yang menguatkan kemampuan teknologi yaitu dengan mendukung penelitian dan pengembangan.

Porterisme adalah istilah untuk menjelaskan perspektif yang didasarkan pada pemikiran Michael Porter, pendiri Monitor Company. Monitor Company mendapat tugas dari National Economic Forum mempelajari dan membantu memformulasikan kebijakan industri nasional Afrika Selatan. Hasil studi itu melihat strategi industri berseberangan dengan kebijakan industri. Strategi industri bertujuan memaksimalkan laju pertumbuhan ekonomi bagi negara sedangkan kebijakan industri akan memiliki gol yang berbeda.

Kelemahan struktur industri menurut perspektif Porterism antara lain karena lemahnya koordinasi antar-perusahaan di dalam satu kelompok ekonomi; perusahaan fokus pada memproduksi untuk pemerintah bukan fokus pada konsumen dan pesaing; ekspor fokus pada komoditi bukan pada peningkatan nilai tambah; lemahnya keterampilan yang terintegrasi pada kapasitas teknologi; lemahnya kompetisi di pasar lokal; dan lemahnya kemampuan birokrasi pemerintahan.

Karena itu strategi industri terutama fokus pada meningkatkan kemampuan bersaing dengan menyediakan lingkungan yang baik berbasis pasar agar perusahaan bisa beroperasi. Negara hanya harus menciptakan keadaan yang memungkinkan perusahaan bersaing dengan dorongan pasar. Bentuk intervensi terbaik adalah memperkuat faktor pasar.

Langkah-langkah kebijakan yang harus diambil antara lain menciptakan keadaan yang menghidupi bisnis dengan meningkatkan daya saing lokal dan internasional; pengembangan kelompok-kelompok bisnis serupa; mendorong value chain dan pengembangan industri yang terkait dan mendukung industri.

Value chain adalah rantai aktivitas untuk meningkatkan nilai (value). Porter (1998) mengidentifikasi satu rangkaian aktivitas yang umum ada pada perusahaan yaitu barang masuk (inbound logistic), operasi, barang keluar (outbound logistic), pemasaran dan penjualan, dan layanan (service). Setiap aktivitas atau keseluruhannya penting dalam meningkatkan kelebihan kompetitif.

Perspektif keempat mengikuti pendekatan ekonomi politiknya Ben Fine dan Zavareh Rustomjee (1996) yang menguraikan kebijakan industri Afrika Selatan yang didominasi oleh pertambangan. Menurut mereka struktur industri yang lemah akibat ekonomi masih masih didasarkan pada industri yang terdiri dari energi-mineral. Pengaruh dari interes kelas yang terkait dengan komposit energi-mineral membatasi kemampuan berkembang menjadi industri yang kuat.

Pendekatan ekonomi politik Fine dan Rustomjee mengusulkan strategi yaitu negara memelopori investasi pembangunan infrastruktur; secara selektif mengintervensi untuk mengintegrasikan komposit industri mineral-energi ke dalam industri manufaktur. Peran negara dikotomi negara dan pasar harus ditolak. Negaralah yang memegang peran sentral. Fine dan Rustomjee menilai tidak perlu ada usulan kebijakan industri yang spesifik, tetapi langkah-langkah seperti program kerja publik dan mentargetkan industri.

Keempat pendekatan ada penekanan yang berbeda, meskipun semuanya sama-sama sepakat penting memperkuat industri manufaktur. Negara kaya mineral seperti Afrika Selatan adalah mengikuti value chain yang fokus pada penambahan nilai komoditi melalui proses manufaktur sebelum mengekspor atau menjual barang-barang di pasar lokal.
Bezuidenhout menyimpulkan satu hal utama dari proses kebijakan industri di Afrika Selatan adalah peran negara menyangkut langkah-langkah kebijakan pada sisi suplai dan permintaan dan keterlibatan negara dalam pembangunan infrastruktur bangsa. Meskipun sejalan dengan kerangka ekonomi neo-liberal, peran aktif negara berkurang.
Selama periode 2010-2014, sektor industri diharapkan tumbuh dengan rata-rata 6,79%.
Dengan target pertumbuhan ini, diharapkan pada tahun 2010 peran industri non-migas dalam perekonomian nasional bisa mencapai 23,53%. Dalam sector tenaga kerja, misalnya, industri diharapkan dapat memberikan kontribusi untuk menyerap 14.374.229 pekerja dengan penambahan 644.855 pekerja per tahun.
Prioritas Pembangunan Ekonomi akan didasarkan pada 1) pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan; 2) Penciptaan stabilitas ekonomi yang kuat dan 3) Pengembangan ekonomi yang inklusif dan wajar.
Sementara fokus prioritas industri pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah tahun 2010-2014 adalah:
Fokus 1: Pertumbuhan Usaha Industri
Fokus 2: Penguatan Struktur Industri
Fokus 3: Peningkatan Produktivitas Usaha Industri
Visi 2014 yang dibawa oleh Departemen Perindustrian adalah untuk memperkuat daya saing industri manufaktur dasar secara berkelanjutan dan membangun pilar industri yang memiliki prospek di masa depan.
MISI 2014
1. Promosikan peningkatan nilai tambah industri;
2. Memperluas ekspansi pasar domestik dan internasional;
3. Mendorong kualitas layanan dukungan industri;
4. Memfasilitasi penguasaan teknologi industri;
5. Memfasilitasi penguatan struktur industri;
6. Mendorong penyebaran pembangunan industri di luar pulau Jawa;
7. Mendorong peran UKM terhadap PDB.
Roadmap pengembangan klaster industri telah menetapkan 35 klaster industri prioritas, yaitu:
I. Industri Berbasis Manufaktur
1. Baja
2. Semen
3. Petrokimia
4. Keramik
5. Mesin Listrik dan Peralatan Listrik
6. Peralatan Mesin Umum
7. Tekstil dan Produk Tekstil
8. Alas kaki
II. Agro Industri
9. Pengolahan Minyak Kelapa
10. Karet dan Barang Karet
11. Kakao
12. Pengolahan Kelapa
13. Pengolahan Kopi
14. Gula
15. Produk Tembakau
16. Pengolahan Buah
17. Mebel
18. Pengolahan Ikan
19. Kertas
20. Pengolahan Susu

III. Industri Transportasi
21. Kendaraan motor
22. Pengiriman
23. Aerospace
24. Perkeretaapian
IV. Industri Elektronika dan TIK
25. Elektronik
26. Telekomunikasi
27. Komputer dan Peralatan
V. Industri Pendukung untuk Industri Kreatif
28. Perangkat Lunak dan Konten Multimedia
29. Mode
30. Kerajinan dan Barang Seni
VI. Khusus Industri Kecil dan Menengah
31. Batu dan Perhiasan
32. Garam
33. Tembikar dan Keramik
34. Essential Oils
35. Makanan Ringan
Tantangan Perkembangan Sektor Industri:
1. Meningkatnya daya saing dan keunggulan kompetitif industri nasional yang mengandalkan pada keterampilan dan kreativitas sumber daya manusia, kemampuan teknologi dan kemampuan manajemen dengan tetap memanfaatkan keungulan komparatif yang dimiliki.
2. Peningkatan kemampuan tenaga kerja industrial yang ahli dan trampil dalam jumlah dan mutu yang sesuai dengan kebutuhan berbagai jenis industri termasuk mendorong untuk menguasai dan melaksanakan pengalihan berbagai jenis teknologi guna mendukung proses industrialisasi
3. Menumbuhkan motivasi dan daya kreasi inovatif yang luas serta menciptakan iklim usaha dan persaingan yang sehat termasuk perlindungan hasil inovasi.
4. Menggerakkan tabungan masyarakat dan menyalurkannya ke arah investasi yang produktif di sektor industri, dan secara efektif mampu memberikan dampak ganda terhadap proses akumulasi modal.
5. Mengembangkan iklim investasi dan berbagai sistem insentif yang dapat lebih meningkatkan daya tarik investasi di sektor indsutri
6. Perluasan basis pendukung industri dengan mengembangkan keterkaitan, persebaran, struktur produksi-ekspor-impor sebagai prasyarat terciptanya struktur industri yang kukuh
7. Membangun perangkat kelembagaan yang mantap sehingga sector industri senantiasa mampu tanggap dan terandalkan dalam menghadapi berbagai perkembangan ataupun perubahan yang timbul
8. Mengembangkan dan mempercepat pertumbuhan industri kecil dan menengah secara lebih terarah, terpadu dan efektif sehingga menjadi tulang punggung struktur industri nasional
9. Meningkatkan kemampuan industri kecil dan menengah yang telah mulai berkembang untuk memanfaatkan relokasi industri yang berasal dari negara maju ke Indonesia, khususnya industri skala menengah.
10. Menentukan pilihan kebijakan yang tepat untuk melaksanakan pembangunan industri yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan dengan pengaturan tata ruang yang tepat.

PERANAN SEKTOR INDUSTRI
Kontribusi sektor industri Bengkalis dalam pembentukan Produk Domestik Regional Bruto tanpa migas Bengkalis tahun 2004 sebesar 35,01 %, telah meningkat dibanding 2003 sebesar 33,88% dan 30,43% pada tahun 2002.

Pada tahun 2004, sektor industri di Kabupaten Bengkalis masih mempunyai peranan yang penting dan cukup dominan terhadap perekonomian Bengkalis maupun Riau, dan diharapkan dapat meningkatkan perekonomian masyarakat kaupaten Bengkalis..

Kelompok industri besar dan sedang dapat diklasifikasikan dan digolongkan sesuai produk yang dihasilkan. Penggolongan dilakukan untuk golongan/ klasifikasi sampai dengan dua digit kode ISIC/KLUI (Klasifikasi Lapangan Usaha Indonesia ). Perusahaan industri besar dan sedang yang dominan beroperasi di Kabupaten Bengkalis adalah dari golongan industri kayu, termasuk Perabot rumah tangga. Kelompok Industri Makanan , Minuman dan Tembakau berada pada urutan kedua, kemudian kelompok Indusri barang galian, Bahan Logam kecuali Minyak bumi dan Batu Bara dan terakhir kelompok Industri Barang dari Logam.

Dampak Industrialisasi Di Indonesia

Pengalaman beberapa negara berkembang khususnya negara-negara yang gandrung memakai teknologi dalam industri yang ditransfer dari negara-negara maju (core industry) untuk pembangunan ekonominya seringkali berakibat pada terjadinya distorsi tujuan. Keadaan ini terjadi karena aspek-aspek dasar dari manfaat teknologi bukannya dinikmati oleh negara importir, tetapi memakmurkan negara pengekpor atau pembuat teknologi. Negara pengadopsi hanya menjadi komsumen dan ladang pembuangan produk teknologi karena tingginya tingkat ketergantungan akan suplai berbagai jenis produk teknologi dan industri dari negara maju Alasan umum yang digunakan oleh negara-negara berkembang dalam mengadopsi teknologi (iptek) dan industri, searah dengan pemikiran Alfin Toffler maupun John Naisbitt yang meyebutkan bahwa untuk masuk dalam era globalisasi dalam ekonomi dan era informasi harus melewati gelombang agraris dan industrialis. Hal ini didukung oleh itikad pelaku pembangunan di negara-negara untuk beranjak dari satu tahapan pembangunan ke tahapan pembangunan berikutnya.
Pada dewasa ini yang menjadi bahan perdebatan adalah bagaimana menyusun suatu pembangunan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Semakin meningkatnya populasi manusia mengakibatkan tingkat konsumsi produk dan energi meningkat juga. Permasalahan ini ditambah dengan ketergantungan penggunaan energi dan bahan baku yang tidak dapat diperbarui. Pada awal perkembangan pembangunan, industri dibangun sebagai suatu unit proses yang tersendiri, terpisah dengan industri lain dan lingkungan. Proses industri ini menghasilkan produk, produk samping dan limbah yang dibuang ke lingkungan.Adanya sejumlah limbah yang dihasilkan dari proses produksi, mengharuskan industri menambah investasi untuk memasang unit tambahan untuk mengolah limbah hasil proses sebelum dibuang ke lingkungan. Pengendalian pencemaran lingkungan dengan cara pengolahan limbah (pendekatan end of pipe) menjadi sangat mahal dan tidak dapat menyelesaikan permasalahan ketika jumlah industri semakin banyak, daya dukung alam semakin terbatas, dan sumber daya alam semakin menipis.
Persoalannya kemudian, pada era dewasa ini, apa pun sektor usaha yang dibangkitkan oleh sebuah bangsa maupun kota harus mampu siap bersaing pada tingkat global. Walaupun sebenarnya apa yang disebut dengan globalisasi baru dapat dikatakan benar-benar hadir dihadapan kita ketika kita tidak lagi dapat mengatakan adanya produk-produk, teknologi, korporasi, dan industri-industri nasional. Dan, aset utama yang masih tersisa dari suatu bangsa adalah keahlian dan wawasan rakyatnya, yang pada gilirannya akan mengungkapkan kemampuan suatu bangsa dalam membangun keunggulan organisasi produksi dan organisasi dunia kerjanya.
Tetapi akibat tindakan penyesuaian yang harus dipenuhi dalam memenuhi permintaan akan berbagai jenis sumber daya (resources), agar proses industri dapat menghasilkan berbagai produk yang dibutuhkan oleh manusia, seringkali harus mengorbankan ekologi dan lingkungan hidup manusia. Hal ini dapat kita lihat dari pesatnya perkembangan berbagai industri yang dibangun dalam rangka peningkatan pendapatan (devisa) negara dan pemenuhan berbagai produk yang dibutuhkan oleh manusia.
Teknologi memungkinkan negara-negara tropis (terutama negara berkembang) untuk memanfaatkan kekayaan hutan alamnya dalam rangka meningkatkan sumber devisa negara dan berbagai pembiayaan pembangunan, tetapi akibat yang ditimbulkannya merusak hutan tropis sekaligus berbagai jenis tanaman berkhasiat obat dan beragam jenis fauna yang langka.
Gejala memanasnya bola bumi akibat efek rumah kaca (greenhouse effect) akibat menipisnya lapisan ozone, menciutnya luas hutan tropis, dan meluasnya gurun, serta melumernnya lapisan es di Kutub Utara dan Selatan Bumi dapat dijadikan sebagai indikasi dari terjadinya pencemaran lingkungan kerena penggunaan energi dan berbagai bahan kimia secara tidak seimbang (Toruan, dalam Jakob Oetama, 1990: 16 - 20).
Kasus Indonesia Indonesia memang negara “late corner” dalam proses industrialisasi di kawasan Pasifik, dan dibandingkan beberapa negara di kawasan ini kemampuan teknologinya juga masih terbelakang.
Terlepas dari berbagai keberhasilan pembangunan yang disumbangkan oleh teknologi dan sektor indusri di Indonesia, sesungguhnya telah terjadi kemerosotan sumber daya alam dan peningkatan pencemaran lingkungan, khususnya pada kota-kota yang sedang berkembang seperti Gresik, Surabaya, Jakarta, bandung Lhoksumawe, Medan, dan sebagainya. Bahkan hampir seluruh daerah di Jawa telah ikut mengalami peningkatan suhu udara, sehingga banyak penduduk yang merasakan kegerahan walaupun di daerah tersebut tergolong berhawa sejuk dan tidak pesat industrinya.
Masalah pencemaran lingkungan hidup, secara teknis telah didefinisikan dalam UU No. 4 Tahun 1982, yakni masuknya atau dimasukkannya mahluk hidup, zat, energi, dan atau komponen lain ke dalam lingkungan dan atau berubahnya tatanan lingkungan oleh kegiatan manusia atau proses alam, sehingga kualitas lingkungan turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan menjadi kurang atau tidak dapat lagi berfungsi sesuai peruntukannya.
Dari definisi yang panjang tersebut, terdapat tiga unsur dalam pencemaran, yaitu: sumber perubahan oleh kegiatan manusia atau proses alam, bentuk perubahannya adalah berubahnya konsentrasi suatu bahan (hidup/mati) pada lingkungan, dan merosotnya fungsi lingkungan dalam menunjang kehidupan.
Pencemaran dapat diklasifikasikan dalam bermacam-macam bentuk menurut pola pengelompokannya. Berkaitan dengan itu, Amsyari (Sudjana dan Burhan (ed.), 1996: 102), mengelompokkan pecemaran alas dasar: a).bahan pencemar yang menghasilkan bentuk pencemaran biologis, kimiawi, fisik, dan budaya, b). pengelompokan menurut medium lingkungan menghasilkan bentuk pencemaran udara, air, tanah, makanan, dan sosial, c). pengelompokan menurut sifat sumber menghasilkan pencemaran dalam bentuk primer dan sekunder.


Referensi:
Soerjani, Mohammad., Permasalahan lingkungan hidup dalam tinjauan Filosofis ekologis dalam Sudjana, Eggi dan Burhan, Latif (ed.). Upaya Penyamaan Persepsi, Kedadaran dan Pentaan terhadap pemecahan Masalah Lingkungan Hidup, CIDES, Jakarta, 1996.

mhs.blog.ui.ac.id/harry.../pembangunan-dan-industrialisasi
elearning.gunadarma.ac.id/docmodul/pengantar_teknik.../Bab_1.pdf
 regionalinvestment.com/newsipid/userfiles/daerah/1408/.../industri.doc
id.shvoong.com ›   
kjri-johor.org/industry-sectors.php

Tidak ada komentar:

Posting Komentar